Sunyi, malam, tengah malam, tepat di
antara tanggal 16 Mei 2016 dan 17 Mei 2016. Ada lantunan musik di seberang
kasur, berulang-ulang bernyanyi seolah sedang ada konser di sudut kamar. Hanya
ada satu lagu di daftar playlist, berulang dan tak berhenti-henti. Lagu yang di
rilis tahun 2015 oleh orang yang baru saja di tendang keluar oleh Band Punknya.
Berjudul “The Invisible Parade”.
Entah apa arti lagunya atau apa
isinya, whatever. Hanya saja, ada beberapa penggalan kata dalam liriknya yang
melekat sekali. Mengingatkan akan sesuatu yang penting di dunia ini, salah satu
yang terpenting mungkin. Kata-kata itu terselip ditumpukan lirik lagu tersebut,
yang bercahaya ketika masuk ke sebuah lorong telinga.
“Mother, I’m Coming Home”, “Mother,
I’m Coming Home”, “Mother, I’m Coming Home”.
Menggelitik sekali kenapa penggalan
kata tersebut sangat spesial. Bagi saya sendiri, itu menjelaskan seberapa
menohok penggalan kata tersebut menyindir isi dalam otak saya. Karena seberapa
parah masalah yang menimpa dalam hidup, satu-satunya cara mengatasinya yaitu
dengan pulang ke rumah dan menemui seorang ibu. Tak perlu bercerita atau
menangis tersedu-sedu dihadapannya, sekedar melihatnya saja masalah seperti hilang
dan terselesaikan. Tuhan seperti memberikan obatnya melalui sesosok ibu. Dan
ternyata itu benar.
“Mother, I’m Coming Home”.
Kita selalu disibukkan untuk mencari
sesosok yang sempurna untuk mengisi kekosongan hati, namun faktanya mereka tak
pernah bisa memberikan kita ketenangan dalam hati. Kita selalu sibuk untuk
mencari, hingga lupa bahwa kita sudah memilikinya sejak lahir. Tak perlu susah
payah untuk mendapatkannya, tak perlu dengan cara mengejarnya bertahun-tahun
tanpa kepastian, tak usah. Tak perlu memberinya hadiah komik karya sendiri yang
berlembar-lembar isinya, tak usah. Tak perlu membuatkannya video amatir yang
tak jelas kualitasnya, tak usah. Tak perlu susah payah mendatangi rumahnya
untuk memberikan kejutan ulang tahunnya, toh juga diusir, tak usah lah. Dan tak
perlu juga membuktikan sesuatu yang harus dibuktikan kepadanya, itupun juga tak
usah. Cukup dengan menjadi anaknya, dia akan dengan suka rela mengorbankan
hidupnya untuk kita.
“Mother, I’m Coming Home”.
Tak ada alasan untuk membenci kita,
bahkan untuk anak yang tak sepandai seganteng sekreatif atau sepopuler yang
dibayangkannya. Seburuk apapun anaknya, dia akan berdiri disampingnya berteriak
memaki-maki orang yang memandang sebelah mata anak semata-wayangnya. Tak perlu
kita berpura-pura menjadi baik, berpura-pura menjadi kaya, berpura-pura menjadi
ganteng, berpura-pura menjadi populer untuk mendekatinya. Cukup dengan menjadi
diri sendiri, itu sudah lebih dari cukup. Dan yang jelas dia tak akan
berseloroh dengan kata-kata, “Aku tidak akan pernah menyukaimu, dan aku akan
berdoa setiap saat agar tak pernah jatuh cinta padamu”.
“Mother, I’m Coming Home”.
Hidup ini sangat indah, dengan
beberapa penggalan kata saja sudah cukup untuk merenungkan seberapa salah
tujuan kita. Tuhan memang punya cara unik untuk menghibur kita. Dan mungkin ini
saatnya untuk pulang kerumah, “Mother,
I’m Coming Home”.
Satu lagi, tak etis kalau tidak
menutupnya dengan peribahasa yang sangat populer ini.
--“Kasih
ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah”.--
Komentar
Posting Komentar