Manusia yang merasa paling benar sendiri itu ibarat tembok tua yang sudah usang. Jika di Cina tembok besar bisa menjadi magnet wisata negaranya, maka beda lagi dengan di Indonesia. Di Indonesia “manusia-manusia tembok” dengan mudah merajalela. Jika tembok di Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur sudah dirobohkan, beda cerita dengan di indonesia. Kaum “manusia-manusia tembok” di Indonesia masih saja berkeliaran dan sangat susah dirobohkan.
Suatu ketika saya membaca beberapa tulisan “manusia-manusia tembok” ini di sosial media. Duarrr, sungguh terlalu! jika kata Haji Rhoma Irama.
Suatu ketika saya membaca beberapa tulisan “manusia-manusia tembok” ini di sosial media. Duarrr, sungguh terlalu! jika kata Haji Rhoma Irama.
“Astagfirullah hal adzim, jangan menghina bla.. bla...”
“Tobatlah anda sekalian, jangan pernah menghina-hina bla.. bla...”
Itu yang sering mereka ucapkan kepada orang yang beradu argumen dengan mereka. Atau orang-orang yang mencibir tokoh yang pro dengan mereka. Tapi disatu sisi, jika ada tokoh yang berseberangan dengan mereka, dengan mudah mereka juga berujar dengan nada sedikit mencibir, “Astagfirullah hal adzim, kembalilah kejalan yang benar”.
Duh ironi sekali, disatu sisi mereka tak mau dikiritik. Tapi disisi lain mengkritik orang-orang yang berbeda pemikiran. Marah jika ada yang mencibir, tapi juga mencibir orang-orang yang berbeda dengannya.
Saya penasaran, pernah enggak sih orang-orang seperti itu bergaul dengan orang yang berbeda pemikiran dengannya. Atau jangan-jangan tingkat pergaulannya yang tak terlalu luas hingga mem bla.. bla.. orang yang berseberangan. Itu sih menurut pandangan saya.
Nah bagaimana jika suatu saat hal tersebut menimpa kita, solusinya ya harus banyak-banyak belajar. Belajar membaca dan mendengar, tak harus dengan buku, bisa juga dengan berkumpul bersama orang-orang yang menurut kita lebih banyak ilmunya dari kita. Keluar dari zona nyaman, jangan hanya berada di satu sudut pandang saja. Sekali-kali keluar dari zona nyaman dan berada di sudut pandang lain agar sudut pandang kita menjadi luwes dan tak kaku.
Saya sendiri juga masih belajar, dan sampai kapanpun akan tetap belajar. Karena dengan belajar hidup jadi berwawasan. Sedikit kutipan dari saya untuk menutup tulisan ini, “Pikiran itu bagaikan samudra, jika airnya dangkal maka akan membahayakan ekosistem didalamnya.”
Komentar
Posting Komentar