Di tengah hiruk pikuk dunia malam, berjalanlah seorang sufi menerobos kesunyian malam. Berbekal baju dan celana ala sekedarnya, dengan mulut & hati dijaga agar tak menyakiti sesama. Beberapa detik melangkah, hujan turun menyambutnya. Dengan berpayungkan seluruh kulit & hatinya, dia tersenyum ditengah derasnya hujan. Dalam hatinya berkata, bukankah hujan itu adalah rahmat dari Tuhan untuk semua mahkluk-NYA, lantas kenapa kita bersusah payah menggunakan payung untuk menghalanginya?
Setelah berhenti beberapa saat karena berdebat tentang payung & hujan, sedikit demi sedikit langkahnya kembali digerakkan. Tidak seperti kebanyakan orang, langkahnya begitu pelan karena selalu diperhitungkan. Salah satu alasannya adalah agar tak mengganggu pasir & tanah yg sedang terlelap tidur di bawah kakinya. Begitu juga untuk menghindari hewan-hewan kecil yg melintas disekeliling kakinya. Si sufi begitu takut mengganggu ketentraman pasir & tanah yg sedang tidur ataupun hewan-hewan yg melintas di kakinya. Pikirannya masih teringat akan petuah gurunya bahwa semua makhluk di dunia ini selalu bertasbih memuji akan kebesaran-NYA. Tak terkecuali gunung, air, angin, planet-planet, hewan dsb. "Alangkah celakanya diriku, jika apa yg saya ganggu ternyata sedang bertasbih memuji kebesaran Tuhan", gumamnya dalam hati.
Setelah kedua kalinya dia berhenti karena mendebatkan masalah langkahnya, maka kini dia melanjutkan lagi langkah kakinya. Sekarang hujan sudah reda, badannya yg basah kuyup karena hujan sudah sedikit mengering. Namun, hujan ternyata tak sendirian. Muncullah angin besar mengejar dibelakangnya. Mungkin angin sedikit marah dengan hujan, karena kekasih yg diidam-idamkannya itu berjalan tanpa menggandengnya. Memang begitulah dunia, semua tak harus berjalan dengan sempurna. Begitu juga dengan kisah percintaan antara angin & hujan. Tiba-tiba tanpa pandang bulu, angin tersebut menghantam si sufi dengan dentuman maha dahsyat, si sufi terdiam tak bisa bergerak. Mulutnya terkunci begitu juga hatinya, dia takut hawa nafsu kebencian akan mempengaruhinya agar memperolok olok angin tersebut. Dia takut, kalau-kalau angin yg melewatinya tersebut adalah kekasih Tuhan hingga tak ingin menyakiti hatinya. Dia teringat akan kisah seorang gelandangan yg dibenci semua penduduk di sebuah kota, padahal gelandangan tersebut adalah kekasih Tuhan yg meninggalkan duniawi untuk berserah diri pada Tuhannya. Inilah kenapa Tuhan itu Maha Surprise, tak ada yg tahu siapa kekasih-NYA. Apakah itu bapak tukang becak yg sedang mengayuh sepedanya, ataukah semut yg berjalan mencari gula, atau gunung yg mengeluarkan lahar panas dari mulutnya. Tuhan menyembunyikan semua itu, karena ada sebab dibalik semua itu. Agar semua makhluk menghormati semua ciptaan-NYA.
Akhirnya, tibalah sang fajar menyapa. Si sufi bersiap untuk berhenti sesaat, mukanya masih basah akan pasir yg baru saja diusapkannya untuk bertayamum. Sujudnya tiada henti sebagai bentuk pertobatan dan syukurnya kpd Tuhan Sang Pencipta. Kemudian setelah itu dia mencari tempat berlindung untuk mengistirahatkan sekujur badannya. Matanya mulai menutup, karena ini waktu yg tetap untuk terlelap tidur. Seluruh dunia sudah memulai aktivitasnya, tapi si sufi memilih untuk tidur sementara waktu. Dengan sedikit bangun untuk berkomunikasi kepada Tuhannya. Alasan untuk tak ingin menampakkan wujud keibadahannya pada Tuhan ke orang lain yg menyebabkan dia enggan untuk beraktivitas di siang hari. Ibadah itu privasi, bukan untuk sekonyong konyong dibuka auratnya kepada khalayak umum. Bukan untuk dipertontonkan tapi untuk diamalkan. Prinsip si sufi yg tak pernah tergoyahkan..
Komentar
Posting Komentar