Jam tanganku menunjukkan pukul 19.00 WIB lebih sedikit. “Telat enggak ya, sementara masih ada beberapa blok lagi yang harus aku lewati,” gumamku. Lalu kukencangkan langkahku, menuju acara promnight.
Pukul 19.27 WIB aku sudah tiba tepat di depan gerbang bangunan tua, dari luar terlihat suasana sunyi senyap. Aku tak tahu kenapa mereka memilih tempat ini. Tempat yang berada di pinggirin kota, bersebrangan dengan sungai besar yang sekarang lebih banyak jadi tempat pembuangan sampah daripada tempat pemancingan. Ah, kenapa juga harus kupikirkan, mau disini kek atau disana kek terserah. Orang sepertiku tak terlalu butuh acara seperti ini, lagi pula ini sekedar ikut-ikutan saja. Karena ini adalah pesta terakhir yang mungkin akan aku ikuti bersama teman-teman yang selama 3 tahun ini aku kenal. Sebagian lebih tepatnya, lebih tepatnya lagi kebanyakan dari mereka tak mengenalku.
Selang beberapa menit masuk, ternyata ramai juga suasana di dalam. Iya sih bangunan disini memang bangunan tua. Atapnya berbentuk lingkaran seperti kubah, perkiraanku ini bangunan peninggalan Belanda saat menjajah nenek moyang kita dulu. Tak banyak tiang seperti kebanyakan bangunan orang Jawa, mungkin karena itu tempat ini dipilih oleh mereka. Luas dan bisa menampung banyak orang, dan tentu saja sewanya yang murah banget. Aku cari beberapa tempat yang pas untuk beristirahat, oke kutemukan tempat duduk kosong disebelah kamar mandi belakang. Disana berkumpul setidaknya beberapa teman yang aku kenal, sembari menghampiri mereka, terlihat banyak sekali lalu lalang beberapa orang disekitarku. Tak banyak yang menyapaku, ya karena mereka memang tak mengenalku. Tak jauh dari langkahku ada beberapa gerombolan perempuan-perempuan gaul berdiri menggenggam minuman bersoda, entah kenapa itu terlihat aneh. Di sampingnya banyak kursi longgar tapi mereka malah memilih untuk berdiri. Seperti dalam beberapa scene-scene film Hollywood, alasan yang logis kenapa mereka memilih untuk berdiri. KEKINIAN!
Mengobrol itu membosankan, itu karena mereka selalu membahas tentang perkenalan dan perpisahan. Dengan dibumbui adegan-adegan lucu yang pernah dilalui bersama, yang anehnya aku sendiri ikut tertawa bersama gerombolan serigala berbulu domba ini. Di tengah percakapan yang membosankan, terdengar suara berbicara di mikrofon, tanda-tanda bahwa pesta sudah mencapai puncaknya. Sepatu kulit mereka mulai bersuara, dimulai dengan loncatan kecil hingga loncatan setinggi mata kaki bermanuver di antara sepatu-sepatu kaca para putri salju. “Kamu mau ikut?” Ucap salah satu temanku.
“Enggak deh, aku tak tertarik dengan hal-hal semacam itu,” ketusku.
“Anak-anak akan pergi berdansa semua, kamu yakin mau sendirian disini?”
“Sodaku belum habis, nanti kususul,” tutupku.
***
Dua lagu sudah berlalu, dan kebanyakan dari mereka masih bergerombol di depan panggung untuk berdansa. Sampai kapan ini akan berakhir, aku sudah tak sabar untuk pulang kerumah. Beberapa meter di belakang gerombolan itu, beberapa perempuan masih duduk dengan santainya. Tak banyak dari mereka yang ikut berdansa, karena mungkin lagunya yang terlalu berisik untuk membuat mereka bergabung. Kuamati beberapa baris dari mereka, tiga baris kebelakang kutemukan sesuatu. Mereka berdiri membentuk lingkaran, bercanda yang tak kudengar apa isi pembicaraannya. Hanya satu yang membuatku tertarik, seseorang yang memegang gelas soda dengan sesekali menempelkannya di mulut. Tertawa dengan kepalanya yang agak serong dibarengi katup matanya yang tertutup. Kubetulkan posisi dudukku, agar lebih terlihat jelas. Sembari ditemani lagu ‘First Date’nya ‘Blink 182’ yang dinyanyikan dari depan panggung. Langsung kuucapkan dalam hati, “Aku ingin berdansa dengannya.”
Berdansa? Berdua dengannya? Mimpi kali ya. Lihatlah mukanya yang lonjong dengan belahan tengah poninya, itu terlihat sangat mustahil. Oke jikalau pun dia mau berdansa denganku, itu juga akan terlihat aneh bagi yang melihatnya. Tinggiku hanya sehidungnya, bahkan untuk melihatnya aku harus mendongakkan kepala. 170cm? 172cm? Kurang tahu, segitu mungkin tingginya. Untuk menggapai rambutnya yang sebahu saja aku sudah untung-untungan. Ah elah, dia senyum lagi, menandakan perbincangan mereka telah usai. Itu tepat berbarengan dengan bergantinya lagu yang sedang dimainkan. Ini lagu terakhir, terlihat bibirnya menirukan lirik lagu ini. ‘Thingking Out Loud’ nya ‘Ed Sheeran’ emang keren, kakinya mulai bergerak. Kulihat kepalanya mulai berslomotion ke kanan dan ke kiri, dengan rambutnya yang bergerak mengikuti kemauannya. Gesturenya sungguh-sungguh sangat menarik, memang benar juga bahwa gerakan-gerakan fisik perempuan adalah kata-kata tersembunyi yang membuat para pria tergoda untuk memecahkan sandinya. Tak perlu katakan aku cinta padamu, cukup goyangkan pundakmu keatas bawah sambil tersenyum malu padaku maka itu sudah cukup untuk membuatku bahagia.
Minumanku tak lagi kupegang, kunikmati setiap detik pergerakanmu. Andai saja aku berani mengajakmu berdansa, tapi aku tak pandai berdansa. Pakaianku juga tak pantas disandingkan dengan puteri kerajaan sepertimu. Pakaianku lebih terlihat seperti seragam prajurit perang daripada jas seorang jenderal. Aku tak tahu bagaimana etika dalam berpakaian, ini saja jas kepunyaan ayahku yang kucuri dari lemarinya.
Suara gemuruh gerombolan orang menutupi pandanganku, semua orang berlalu lalang lagi diantara sudut pandang diriku dan dirimu. Iya, pertunjukkan di panggung telah usai. Itu pertanda pesta telah usai, dan membuyarkan kerumunan pesta. Sedikit terlihat gaunmu meninggalkan gedung tua ini. Sungguh aku ingin mengejarmu, tapi aku ingat bahwa ini bukan sinetron atau ftv. Selama 3 tahun ini saja aku tak pernah tahu keberadaanmu, dan itu menjadi penyesalanku. Kuhabiskan masa 3 tahunku untuk ke anti-sosialan yang sangat memuakkan.
Dan pada akhirnya, seperti ending-ending di cerita horror. Gelap dan sedikit satir! Ternyata benar juga apa yang diperbincangkan teman-temanku tadi, hidup ini memang berisi tentang perkenalan dan perpisahan. Dua unsur tersebut tak membutuhkan masa orbit yang lama, buktinya aku mengalami dua unsur tersebut hanya dalam 2 atau 3 jam saja. Hebat kan? Tapi itu sudah cukup membuatku bahagia. Dari acara yang bisa dibilang tak penting awalnya, tapi bisa berubah bermakna pada akhirnya. Yah, Tuhan memang Maha Surprise. Bahkan untuk ukuran orang yang anti sosial sepertiku dan juga untuk ukuran orang yang tak terlalu sering beribadah sepertiku. Ini hadiah yang terlalu spesial dari-NYA.
Cerpen yang terispirasi dari beberapa pengalaman teman dan buku-buku fiksi yang sering dibaca ulang!
Komentar
Posting Komentar