Hidup ini keras, maka gebuklah.. begitu kata Om Pri GS. Dulu,
ku kira hidup seindah sinetron-sinetron di layar kaca, tapi ternyata hidup itu
keras bung!
Maunya sih, SMAnya di tempat favorit, lulus lanjut kuliah di
UGM atau ITB, lanjut lagi kerja di BUMN. Eh taunya sekali mendayung hancur berantakan
semuanya, bahkan merambat keurusan asmara. Tak satupun kisah asmaraku seindah
puisiku sendiri.
Oh mylov, hidupku hancur berantakan. Seketika aku curhat ke Pak Ustad, beliau bilang bersabarlah anak muda maka kau akan menerima balasan dari-NYA,
sambil kupandangi mobil-mobil mahal berderet di garasi rumah Pak Ustad. Di
sampingku berjejer, para pemulung, korban pelecehan, korban HAM, korban
kekerasan, korban penggusuran atas nama pembangunan negara yang juga meminta
nasihat Pak Ustad. “Oh umat.. bersabarlah.. jangan pernah meragukan sedikitpun
Tuhan.. pertolongan akan datang kepadamu. Tuhan bersama orang-orang yang sabar,”
begitu Pak Ustad berujar yang hampir sama dengan apa yang diucapkannya padaku.
Kuhayati kata-kata itu sambil aku takjub dengan seberapa luasnya rumah ini,
hingga bisa menampung berjubel-jubel orang yang meminta nasehat. Karena jadwal Pak Ustad yang padat, mengisi tausiyah di
Tipi-Tipi dan mimbar-mimbar perusahaan BUMN. Maka dengan sukarela aku dan
beberapa orang tadi membubarkan diri, pulang ke rumah dengan perasaan, iya
benar apa kata Pak Ustad, pertolongan Tuhan akan datang sesegera mungkin, aku hanya
perlu sedikit bersabar.
Diperjalanan, karena daerahku termasuk daerah kumuh, banyak
tampang-tampang susah menghiasi sisi-sisi jalanan. Beberapa hari ini, kulihat
ada seorang tua renta entah kenapa sering membagi-bagikan makanan pada pengemis
dan pemulung di sekitar jalanan situ. Sudah semingguan kulihat orang ini
disekitar sini, dan kemarin aku sempat mengobrol dengan salah seorang pengemis
yang sudah lama kukenal di sekitar situ. Karena sama-sama miskin, mungkin engga ada sekat kesungkanan di antara aku dan pengemis itu. Melalui dia aku tahu
bahwa bapak tua renta itu bernama Bapak Ahmad. Rumahnya dipelosok daerah yang
jauh dari kota, disana katanya orang-orang memanggilnya sebagai Kyai. “Ah..
Kyai apa itu kok selama aku seminggu melihatnya sama sekali tak kudengar ayat
suci keluar dari mulutnya,” sergapku. Karena penasaran besoknya kucoba
mengamati Pak Ahmad, lumayan sebagai pengangguran daripada enggak ada kerjaan
di rumah, lagian jadwal ke rumah Pak Ustad juga sedikit di tunda karena Pak Ustad
lagi-lagi keluar kota sedang memberi ceramah ke lembaga negara sebagai acara pembukaan
jalan baru di provinsi sebrang. Pagi-pagi kuamati, Pak Ahmad hanya datang
membawa makanan lalu memberikannya kepada orang-orang yang membutuhkan, setelah
selesai biasanya Pak Ahmad berdasarkan apa yang aku amati mampir ke tempat
anak jalanan untuk mengajar baca dan hitung pada anak-anak diselingi beberapa
jokes receh yang entah kenapa lucu sekali ketika kudengar. Mendekati malam hari, kulihat
Pak Ahmad pergi ke beberapa blok dari situ menuju kawasan pelacuran. Aku belum
pernah kesana, kata orang-orang, begitu juga dari Ustad yang aku hormati selalu
mengingatkanku, jangan sekali-kali datang ke tempat seperti itu, atau kamu akan
tercebur dan ikut terjerumus dalam lingkungan keji penuh dosa. Ah.. hampir saja
aku tak meneruskan mengikuti Pak Ahmad, tapi beliau memanggilku sebelum aku
sempat berpaling dan pergi dari tempat tersebut. Beliau berujar, katanya sudah
tahu bahwa dari tadi pagi aku ikuti, sekalian aja katanya aku disuruh
membantunya, jarang-jarang katanya ada orang yang memperhatikannya dari mulai
pagi sampai malem. Hampir saja aku tolak permintaan tersebut, tapi aku bingung
alasan apa yang akan aku pakai untuk menolaknya, pengangguran sepertiku hanya
menghabiskan waktu dengan tidur di kamar, dan tidak mungkin alasan itu aku
pakai untuk menyanggah ajakan Pak Ahmad. Yoweslah pikirku, sekali ini saja aku
mengunjungi tempat keji ini. Pak Ahmad lalu berbicara sambil berjalan, bahwa
beliau sudah berumur 70 tahun. Kehidupannya lebih banyak dihabiskan di pondok
pesantren tempatnya tinggal, karena pondok pesantren itu adalah peninggalan Ayah dan Kakeknya. Seminggu yang lalu, Pak Ahmad lewat daerah ini karena ada urusan di
kota, ketika beliau lewat sambil menangis beliau bercerita bahwa kehidupan di
kota tak seperti yang di gembor-gemborkan pemerintah. Ternyata beliau kaget
bahwa banyak sekali orang kesusahan di pinggiran kota. Maka dari itu, Pak Ahmad mencoba membagi kebahagiaan dengan beberapa penduduk di kota ini. Beliau
bilang, “Saya ini cuma bisanya begini nak, kebetulan kemarin panen dari sawah
sedikit berlebih makanya saya bagikan ke temen-temen di kota, lumayan mereka
senang sekali.”
Dan sampailah akhirnya saya di salah satu tempat pelacuran tersebut, ternyata Pak Ahmad sudah seminggu ini punya beberapa kenalan PSK yang sangat banyak. Disampingnya kuperhatikan apa yang dilakukannya, simpel sih cuma ngobrol-ngobrol biasa, sesekali diselingi lelucon, dan sedikit menawarkan pekerjaan di daaerahnya bagi yang bersedia. Beberapa ada yang tertarik, beberapa ada yang enggak, tapi Pak Ahmad santai saja, bagi yang bersedia nanti di sediakan asrama di sekitar pondok pesantren sekalian diberi uang sangu untuk ongkos perjalanan ke tempat pesantren. Di tengah riuhnya para pemabuk dan preman-preman pasar, kulihat Pak Ahmad santai saja tanpa sedikitpun merasa jijik atau marah. Sedikit kuanalisis mungkin karena tampilan Pak Ahmad yang juga tidak mencolok, berpakaian celana hitam panjang kain dengan kaos oblong putih bertuliskan Merk Toko Besi dan jaket levis birunya. Ah dalam hati kutanya, apa bener Pak Ahmad ini Kyai? Sebeluum lamunanku selesai, Pak Ahmad mengajakku beranjak pergi ke rumah Fadli. Aku kenal Fadli karena dia adalah kakak kelasku dulu waktu SMA. Kutanya ke Pak Ahmad kenapa kita akan kerumah Fadli, beliau berujar ingin mendengarkan keresahan hati beberapa orang disana dan membantunya dengan sebisanya. Denger-denger sih dari tetangga, beberapa blok rumah di sekitar rumah Fadli akan di gusur dan akan di ganti dengan taman luas yang sangat indah untuk kota. Sembari memikirkan siapa yang salah Fadli ataukah pemerintah, tak terasa aku sudah tiba di depan pintu masuk daerah Fadli. Tak kusangka beberapa orang menyambut Pak Ahmad, mereka berbincang sangat hangat, sesekali Pak Ahmad memberikan bantuan uang untuk kegiatan aksi damai penolakan penggusuran tersebut. Selain memberi motivasi dan doa, beliau juga menawarkan rumah sementara di pondok pesantrennya, sambil bantu-bantu di pesantren katanya, jaga-jaga kalau usaha warga mentok dan rumah-rumah disitu tetap digusur. Waktu sudah masuk dinihari, tak terasa aku ngantuk sekali, untuk ukuran pengangguran, aku memang orang yang paling lemah untuk urusan begadang. Kuhampiri Pak Ahmad dan meminta ijin untuk pulang, beliau tersenyum dan mengatakan terima kasih sudah mendampinginya setengah hari ini. Sambil sedikit ngantuk kutanya pada beliau, “Bapak kok ngerepotin diri sendiri sih urus hal-hal begini?” Lalu dengan nada lirih Pak Ahmad menjawab, “Aku cuma manusia nak bisanya begini, nanti yang besar-besar biar Tuhan yang mengatur.”
Dan sampailah akhirnya saya di salah satu tempat pelacuran tersebut, ternyata Pak Ahmad sudah seminggu ini punya beberapa kenalan PSK yang sangat banyak. Disampingnya kuperhatikan apa yang dilakukannya, simpel sih cuma ngobrol-ngobrol biasa, sesekali diselingi lelucon, dan sedikit menawarkan pekerjaan di daaerahnya bagi yang bersedia. Beberapa ada yang tertarik, beberapa ada yang enggak, tapi Pak Ahmad santai saja, bagi yang bersedia nanti di sediakan asrama di sekitar pondok pesantren sekalian diberi uang sangu untuk ongkos perjalanan ke tempat pesantren. Di tengah riuhnya para pemabuk dan preman-preman pasar, kulihat Pak Ahmad santai saja tanpa sedikitpun merasa jijik atau marah. Sedikit kuanalisis mungkin karena tampilan Pak Ahmad yang juga tidak mencolok, berpakaian celana hitam panjang kain dengan kaos oblong putih bertuliskan Merk Toko Besi dan jaket levis birunya. Ah dalam hati kutanya, apa bener Pak Ahmad ini Kyai? Sebeluum lamunanku selesai, Pak Ahmad mengajakku beranjak pergi ke rumah Fadli. Aku kenal Fadli karena dia adalah kakak kelasku dulu waktu SMA. Kutanya ke Pak Ahmad kenapa kita akan kerumah Fadli, beliau berujar ingin mendengarkan keresahan hati beberapa orang disana dan membantunya dengan sebisanya. Denger-denger sih dari tetangga, beberapa blok rumah di sekitar rumah Fadli akan di gusur dan akan di ganti dengan taman luas yang sangat indah untuk kota. Sembari memikirkan siapa yang salah Fadli ataukah pemerintah, tak terasa aku sudah tiba di depan pintu masuk daerah Fadli. Tak kusangka beberapa orang menyambut Pak Ahmad, mereka berbincang sangat hangat, sesekali Pak Ahmad memberikan bantuan uang untuk kegiatan aksi damai penolakan penggusuran tersebut. Selain memberi motivasi dan doa, beliau juga menawarkan rumah sementara di pondok pesantrennya, sambil bantu-bantu di pesantren katanya, jaga-jaga kalau usaha warga mentok dan rumah-rumah disitu tetap digusur. Waktu sudah masuk dinihari, tak terasa aku ngantuk sekali, untuk ukuran pengangguran, aku memang orang yang paling lemah untuk urusan begadang. Kuhampiri Pak Ahmad dan meminta ijin untuk pulang, beliau tersenyum dan mengatakan terima kasih sudah mendampinginya setengah hari ini. Sambil sedikit ngantuk kutanya pada beliau, “Bapak kok ngerepotin diri sendiri sih urus hal-hal begini?” Lalu dengan nada lirih Pak Ahmad menjawab, “Aku cuma manusia nak bisanya begini, nanti yang besar-besar biar Tuhan yang mengatur.”
Keesokan harinya, dengan kebiasaan bangun kesiangan, aku
persiapan mandi dan mencoba peruntungan lagi untuk melamar pekerjaan. Dan
seperti biasanya, lebih banyak penolakan daripada diterimanya. Pak Ahmad masih
seperti biasa berkeliaran disekitar blok daerahku, tapi aku sudah tak tertarik,
aku hanya ingin pulang dan beristirahat dari dunia yang melelahkan ini,
sebenarnya aku ingin mampir ke rumah Pak Ustad, tapi ku dengar lagi-lagi Pak Ustad belum pulang dari luar kota.
Hingga akhirnya, setahun kemudian kudengar kabar bahwa Pak Ahmad tak lagi hadir di sekitar rumahku, beberapa orang bilang kepadaku bahwa
Pak Ahmad dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Berduyun-duyun orang menyewa bus untuk melayat ke rumahnya. Karena aku lumayan kenal Pak Ahmad, sebagai orang
yang tahu sopan santun aku akhirnya memutuskan untuk ikut orang-orang pergi ke
rumahnya.
Rumahnya jauh di pelosok daerah, kuamati pondok pesantrennya
tak semewah rumah Pak Ustad, meskipun luas tapi bangunannya hampir lapuk
disana-sini. Dari beberapa tetangganya kudengar bahwa sawah dan perkebunan
pondok dikelola oleh seluruh santri, hasilnya nanti dinikmati bersama, kalau
lebih ya diberikan ke orang yang tidak mampu. Kuamati tak ada mobil satupun
milik Pak Ahmad, maka dari itu setiap ke kota beliau selalu naik bus. Kudengar
juga Pak Ahmad adalah orang yang dalam sekali ilmu keagamaannya, beliau mondok
berpuluh-puluh tahun, mengajar santri-santri di pondok, lalu ketika keluar
pondok berganti model pakaian menyesuaikan tempat yang ditujunya agar tidak
kelihatan mencolok. Berduyun-duyun semua kalangan hadir disitu, sedikit aku
kaget karena menemukan semua lapisan masyarakat tumplek-blek mendampingi Pak Ahmad menuju ke liang lahatnya.
Ketika selesai acara, masih kulihat beberapa orang mampir ke
rumah Pak Ahmad sambil bercakap-cakap dengan keluarganya. Tak kudengar
sedikitpun komentar miring tentang Pak Ahmad di sekitar situ. Menjelang sore,
aku mencoba pamit ke keluarganya untuk pulang, tapi lalu kupikirkan, siapa aku,
bahkan kenalpun hanya sepintas. Sambil berjalan ke rumahnya, aku beranikan diri
mengenalkan diri dan berpamitan pulang lalu Ibu Nyai, begitu orang-orang
disekitarku memanggilnya memberhentikanku. Katanya, Pak Ahmad pernah berujar
bahwa ada satu laki-laki muda yang saat itu pernah menemaninya menghabiskan
waktu di kota, jika pemuda ini datang ke pondok maka ucapkanlah terima kasih padanya.
Mendengar kata-kata ini aku menangis, tak kusangka ada juga orang yang memperhatikanku.
Belum selesai air mataku jatuh, kulihat Bu Nyai juga menambahkan pesan Pak Ahmad kepadaku. Katanya, kalau suatu saat aku datang ke pondok dan Pak Ahmad sudah
tiada, Bu Nyai disuruh menitipkan buku cacatan kecil kepadaku. Buku itu
kupegang dan kubaca di perjalanan pulang dari rumah Pak Ahmad.
Nak kamu itu masih muda, jangan pernah putus asa, kawanku pernah cerita bahwa Kalimati di bawah puncak Semeru itu indah sekali saat malam hari. Suatu saat, kalau kamu tak sibuk ajaklah pasanganmu pergi kesana, bermalamlah disana sehari, saling sambat satu sama lain. Di depan tenda, ditemani secangkir teh hangat, dan tehnya jangan terlalu manis-manis, karena seharusnya pasanganmu sudah cukup manis.
Deg-deg, dredek dadaku, tak kusangka Pak Ahmad seperhatian
ini. Kusimpan catatannya sambil kurenungi, ah mylov kapan kata-kata indah Pak Ahmad ini bakal kita wujudkan. Karena perjalanan pulangku naik bus,
perenunganku dibuyarkan oleh ucapan kernet dengan logat Maduranya, “Nasib
adalah kesunyian masing-masing dek.” Kutertegun dan hampir saja kukira Pak Kernet adalah Chairil Anwar.
Hmmmm.. nasib memang adalah kesunyian masing-masing ternyata.
***
Komentar
Posting Komentar